
warkop dki
Pada masa jayanya,
film
Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop
untuk orang kelas menengah ke atas, Teater 21, sering menayangkan
film mereka. Tak hanya itu, di kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan
film Warkop DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan menarik bagi masyarakat.
“Kita punya kelas penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop DKI,” kenang Indro.
Dengan semakin terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah
di seluruh Indonesia. Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat
berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana memadati lapangan dengan mengenakan koteka. Selama
berlangsung dialog lawakan, tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami
bingung,” tuturnya. Koteka adalah alat penutup kemaluan untuk pria. Di
buat dari buah labu. Isi dan bijinya dibuang dan dijemur. Setelah
kering, baru bisa dijadikan penutup kemaluan.
“Tiba-tiba Dono berinisiatif. Ia berlari-larian dengan gayanya yang
lucu di atas panggung,” Indro memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya
Dono, tiru Indro, bergoyak dan melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino, ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro sambil tertawa.
Kocak Warkop DKI selalu ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah
surut dari zaman dan tidak pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada
Warkop, disitu orang tertawa.
************
Tubagus Deddy Gumelar alias Miing yang kini membentuk kelompok lawak
Bagito Group, punya kenangan sendiri dengan Warkop DKI. Tahun 1986,
dirinya diajak oleh Kasino untuk menjadi staf asistennya. Sendirian.
“Kasino melihat saya, karena lawakan Bagito banyak nyinggung ke masalah
sosial dan politik. Dan akhirnya saya diajak. Saya setuju. Karena Warkop
juga punya nama besar saat itu,” kisah Miing.
Miing bergabung, setelah Nanu meninggal dunia dan Rudy Badil tidak
ikutan lagi pada setiap pementasan. Miing tidak hanya menjadi asisten,
beberapa kali ia terlibat langsung bermain dalam
film Warkop.
Di Warkop, ia banyak banyak belajar tentang profesionalitas. Pembagian
kerjanya, Dono bertugas dalam hal hubungan pihak luar. Kasino soal
bisnisnya, dan Indro sebagai bendahara dan mengatur hubungan kerja sama.
Honor yang diperoleh Miing sebagai asisten sebesar 10 persen dari
pendapatan panggung yang diperoleh Warkop. “Saya pernah dapat Rp750
ribu. Berarti honor Warkop tujuh juta setengah. Saat itu uang segitu
gede,” ujar Miing.
Tugas Miing, mempersiapkan semua perencanaan pementasan Warkop. Termasuk
materi guyonannya. Jika ada pementasan di daerah, tugas Miing yang
mencari materi yang tepat untuk daerah tersebut. Sehingga, lawakan
Warkop pas dengan situasi yang sedang digandrungi. Dari bahasanya sampai
pola tingkah serta budaya daerah yang didatangi.
Selama menjadi asisten Warkop, banyak cerita yang mewarnai kehidupan
Miing. “Maklum orang desa,” tuturnya. Tak ayal, sang asisten itu kerap
jadi korban. “Saya pernah disuruh bawa setrikaan. Kostum yang mereka
kenakan saja, pernah saya yang cuci sampai setrika.”
Setiap pentas di luar kota, Miing selalu sekamar dengan Indro. Dan Dono
sekamar dengan Kasino. Selama sekamar dengan Indro, Miing selalu
berebutan soal alat pendingin kamar. Indro, kata Miing, selalu
menginginkan ruangan dengan pendingin. Sedangkan ia sendiri tak tahan.
“Indro, kan memang berasal dari orang mampu. Nah, gue! Gue kan, orang
kampung yang selama hidup nggak pernah kena ruangan pendingin,” ujarnya.
Suatu hari di
hotel
Surabaya, Jawa Timur, Indro ingin tidur. Ia hanya mengenakan celana
dalam dan kaos. AC dinyalakan. Miing tak tahan. Ketika Indro sudah
terlihat mendengkur, diam-diam Miing mematikan AC. Ketika hawanya tidak
dingin, Miing baru bisa tidur.
Belum lama ia terlelap, Indro terbangun dan diam-diam menyalakan AC
lagi. Tak ayal, Miing terbangun dengan badan kedinginan. Begitu
seterusnya. “Karena asisten, jadinya mengalah terus deh,” ujarnya.
Cerita lainnya. Ketika pesawat baru mendarat di Surabaya, Miing demam. Kupingnya terasa panas. Dalam kamar
hotel,
badannya menggigil. Demam tinggi. Selimut tebal menutup tubuhnya..
“Pokoknya, tubuh gue udeh kacau banget. Penyakit sinusitis kambuh lagi.”
ujarnya.
Dalam kondisi itu, Indro malah menghilang dari kamar. Miing kaget.
Pelan-pelan ia keluar kamar. Dari balkon tangga hotel, ternyata Indro
ada di loby hotel. Sedang merokok dan ngobrol dengan pegawai hotel.
Sambil teriak dan tertawa, Indro mengatakan, “Gue takut elu entar mati
di kamar. Terus, gue yang yang kena jadi saksinya,” kata Indro kepada
Miing. “ Waduh, kalo inget itu, gua jadi ketawa,” ujarnya.
Tentang Dono, ia adalah sosok orang yang serius dan sulit diajak
komunikasi. Tapi sekali bicara, ternyata enak. Miing pernah dikerjain
oleh Dono. Di Hotel Surabaya, sekitar pukul 09.00, petugas kamar hotel
mengetuk pintu kamarnya. Miing membuka pintu. “Ini pesanan asinan dan
acar,” kata petugas itu.
Miing kaget. “gile..pagi-pagi siapa yang pesenin asinan ama acar,” pikir
Miing bingung. Akhirnya, disantap juga. Tak lama kemudian, telepon
hotel berbunyi, terdengar suara Dono dengan mengatakan, “Ing, asinan ama
acarnya enak nggak,” ujar Dono sambil tertawa dan menutup telponnya.
“Sialan..nggak tahunya yang pesanin asinan ama acar pagi-pagi si Dono.
Gile bener…gue dikerjain disuruh makan asinan ama acar doang…”tutur
Miing tertawa mengenang masa itu.
“Kebiasaan Dono selama di daerah apa aja?” Tanya saya.
Dono itu, tutur Miing, punya kebiasaan bangun pagi. “Sebelum yang lainnya bangun, ia tuh, bangun pasti lebih dulu,” ujar miing.
“Ngapain pagi-pagi ia bangun?” Tanya saya.
“Dono selalu jalan pagi menelusuri kampung-kampung di sekitar hotel. Ia
selalu membawa kameranya untuk memotret kehidupan sekitarnya. Itu yang
selalu Dono lakuin. Pokoknya, kamera nggak pernah ketinggalan,” ujarnya.
“Bagaimana dengan Kasino?” tanya saya.
Kasino, dikenal orang yang cukup care. Ia memperhatikan kebutuhan
Warkop. Orang ini yang banyak memberikan saran dan pendapatnya. Ia juga
yang pernah mengubah penampilan pakaiannya.
“Kasino pernah nyuruh gue, make jas. Gue, kan nggak biasa kayak gitu.
Kasino bilang harus rapi,” tutur Miing. “Ia akhirnya ngasih jas
miliknya. Bayangin aja, jas yang terbaik saat itu kan merek Prayudi.
Merek ini dulu terkenal. Akhirnya, gue pake deh,” ujarnya, tertawa.
“Eh,..ia juga ngasih gue sepatu kets. Waduh…gue akhirnya pake juga. Gue
kan, orang kampung. Istilahnya Tukul, ‘Katrok’,” Miing tertawa lagi.
Selain Miing, saya juga menemui Kiki Fatmala di rumahnya di kawasan
Pondok Indah, Jakarta Selatan. Artis yang pernah menjadi peran pendukung
dalam beberapa
film Warkop DKI. Kali pertama, gadis seksi ini terlibat dalam
film ‘Bisa Naik Bisa Turun’ yang diproduksi tahun 1991. Artis perempuan lainnya, Sally Marcellina.
“Terlibat di Warkop, punya kebanggaan sendiri. Pokoknya, semua artis saat itu selalu membicarakan
film mereka. Tidak mudah bisa main di Warkop,” ujar ia.
“Belum lengkap jadi artis, kalau belum main sama Warkop. Bayarannya
paling tinggi, nama artis akan mudah melonjak. Cara kerjanya, juga
enak.”
Warkop di mata Kiki, kelompok yang gaul dan tidak kaku. Semuanya serba
tidak serius. Dari tiga anggota Warkop, yang paling konyol adalah Indro.
Sedangkan Dono dan Kasino, lebih banyak serius. Hanya sesekali saja
becanda.
“Indro kalau lagi iseng, yang dilihatnya bagian tubuh montok-montok.
Apalagi kalau lihat dada,” tutur Kiki. “Tapi ini becandaan aja.”

kiki fatmala
Kiki berdiri dari bangkunya. Ia menirukan gaya Indro yang mengangkat
kedua tangannya sambil didekatkan ke dadanya. “Nah..ini yang montok,”
Kiki tertawa. “Kebiasaan kalau istirahat syuting, kami sering main
kartu. Pake cemongan muka.”
“Pas sutradara teriak syuting dimulai lagi, kita cuekin aja,” ujar Kiki.
“Terus kita bilang aja, Entar…entar…belum selesai nih,” kenangnya.
“Pokoknya mereka konyol.”
*******
16 September 1997, Warkop DKI berduka. Kasino Hadiwibowo alias Kasino
Warkop meninggal dunia pada usia 47 tahun. Suami Amarmini itu meninggal
akibat menderita tumor otak di Rumah Sakit Cipto Mangukusumo, Jakarta.
Indro tidak sempat melihat langsung detik-detik nyawa Kasino melayang.
Selama dalam perawatan, Indro dan Dono berbagi tugas menjaganya. Hari
itu, tepat tugas Indro yang menungguinya. Sebelum malam, Indro pulang ke
rumahnya untuk menemui Istrinya. Rencananya, malam akan kembali ke
rumah sakit.
Dokter jaga menelpon dan memberitahukan, kondisi Kasino kritis. Indro
panik. Dengan motornya ia melaju. Setibanya di rumah sakit, dari parkir
mobil ia harus berlari menuju ruang rawatnya. “Kasino sudah meninggal,”
ujar dokter setibanya.
Indro terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Ia terlihat menahan rasa
sedihnya dengan peristiwa itu. Saya ikut terdiam. Indro melanjutkan
ceritanya. “Semua keluarga besar Warkop termasuk istri saya, yang
terakhir dikabarin.” Indro terdiam lagi. “Saya tidak ingin keluarga
panik,” ujarnya. Kasino dikubur di pemakaman Tonjong, Bogor.
Pekan lalu, saya mengunjungi rumah tinggal keluarga almahum Kasino di
kawasan Kayu Putih, Jakarta Timur. Saya ditemui putri tunggalnya, Hanna
Sukmaninggsih, 31 tahun. Sudah menikah dan belum punya anak. Ia alumni
Universitas Trisakti Jurusan Design dan Universitas Indonesia di
Fakultas Psikologi.
Di rumahnya, Hanna berjualan kue ala Belanda. Rumah itu bukan
peninggalan Kasino. “Ini rumah keluarga ibu,” katanya. Dulu, rumahnya
berada persis di rumah yang ditinggalinya sekarang.
“Peninggalan Papa sudah tidak ada lagi. Sudah dijual untuk biaya
pengobatan. Rumah, mobil dan semua peninggalan sudah habis,” ujarnya.
“Kan, Papa menjalani perawatan sekitar setahun lebih.”
Kasino meninggal ketika Hanna masih kuliah. Untuk biaya hidup
sehari-hari, ibunya yang bekerja ditambah dengan uang sisa hasil
penjualan barang-barang keluarga. Dari situlah, Hanna menamatkan
pendidikannya.
Menjelang kematian Kasino, Hanna dan Ibunya sedang pulang ke rumah untuk
mengambil pakaian. Dan malam itu, tidak ada satu pun keluarga yang ada
di samping Kasino. Kasino, kata Hanna, seakan tidak ingin kepergiannya
dilihat langsung oleh keluarganya. Kabar duka itu malah diketahui dari
sepupunya yang lebih dulu tiba di rumah sakit.
Kanker otak yang diderita Kasino, katanya, diduga saat dirinya jatuh
dari sepeda gunung yang dikendarainya. Karena semenjak itulah Kasino
mulai sakit-sakitan di bagian kepalanya. “Tidak ada pesan apa pun dari
Papa sebelum meninggal,” ujarnya.
Empat tahun kemudian setelah Kasino meninggal, tepatnya 30 Desember
2001, Dono Warkop DKI meninggal dunia di usia 50 tahun. Pria kelahiran
Solo ini, meninggal di Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta. Dosen FISIP
UI ini, akibat penyakit tumor paru-paru. Indro menyaksikan detik-detik
kematiannya.
Beberapa jam sebelum Dono meninggal, tim medis sudah memberi kabar
kondisi kritisnya. Semua keluarga besar Warkop DKI dan artis lainnya,
berdatangan. Dari kalangan wartawan hanya ada Rudy Badil. Indro berdiri
persis di ujung ranjang berhadapan dengan Dono. Tim dokter berada di
dekat wajah Dono sambil terus memeriksa kesehatannya.
Indro memperhatikan dokter yang mulai risau sambil melihat jam dinding
yang terletak di belakang Indro. Saat itu, bersamaan terdengar suara
adzan dari seorang ustad yang sengaja didatangkan. Indro ikut gelisah.
“Tidak mungkin adzan. Saat itu, belum waktunya adzan Subuh. Masih tengah
malam,” pikir Indro.
Dengan gelagat itu, Indro langsung menoleh ke arah jam dinding. “Saya
melihat, jam menunjukan pukul 00.05,” tutur Indro. Dan bersamaan dengan
itu, tim medis rumah sakit langsung menyampaikan, “Dono meninggal dunia
pukul 00.05,” kata dokter di hadapan kerabat Dono. Ia dikubur di
pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
Kematian Dono meninggalkan ketiga anaknya, Andiko Ario Seno, Damar
Canggih Wicaksono, dan Satrio Trengginas. Istri Dono, Titi
Kusumawardhani, lebih dulu meninggal dunia di tahun 1999 akibat penyakit
kanker payudara.
Indro teringat selama Dono menjalani perawatan, kondisinya sangat
memprihatinkan. Dia sulit untuk bernafas. Dadanya terasa sesak. Penyakit
paru-parunya sudah parah. Ia hanya bisa memberikan isyarat tangan jika
ditanya kondisinya.
Menjelang Dono meninggal, kenang Indro, ada keanehan saja. Tiba-tiba ia
memanggilnya dan berbicara pelan-pelan. Dono mengatakan, nafasnya tidak
terlalu sesak lagi. “Nafas legaan,” kata Dono.
“Ternyata, kalimat itu yang terakhir,” tutur Indro.
Indro punya rencana. Tulisan Dono yang pernah dimuat maupun yang
masih tersimpan akan dibukukan. “Dono itu orang yang rajin menulis.
Tapi, ia juga orang yang berantakan tentang arsip.”
Sejenak Indro berhenti bercerita kepada saya. Ia terlihat tegar
menceritakan kisah-kisah terakhir temannya. “Anda tahu, apa rahasia
terakhir antara Kasino dan Dono,” tanya Indro. Saya menggelengkan
kepala. “Dua orang ini pernah tidak pernah bicara selama tiga tahun.”
Masalahnya, karena beda prinsip. Kasino dan Dono selalu beda prinsip
dari banyak hal. Konflik itu, hanya Warkop yang tahu. Tidak ada satu pun
orang yang mengetahui kejadian itu. “Termasuk para istri kami,” kata
Indro.
Karena Dono sudah pernah membeberkan ‘perang tutup mulut’ itu, akhirnya
bukan jadi rahasia umum lagi. “Bayangkan selama tiga tahun, berdua nggak
ngomong. Kalau pentas, yang biasa aja. Tapi pas di luar kegiatan,
berdua berdiaman,” tutur Indro.
Indro tak hanya bercerita kenangannya dengan Warkop. Kepada saya, dia
juga menceritakan tentang keluarganya. Indro tak menyangka hidupnya di
dunia lawak. Dulu, ia ingin sekali menjadi seorang polisi seperti
ayahnya. Tapi dalam filmnya berjudul ‘Chips’ buatan tahun 1982, Indro
berperan sebagai polisi yang bertugas mengatur lalu lintas. Artis
pendukungnya; Tetty Liz Indriati dan Chintami Atmanegara.
Indro yang bernama lengkap Indrodjojo Kusumonegoro itu dilahirkan
pada 8 Mei 1958. Ia anak tunggal dari seorang Jenderal Polisi bernama
Muhammad Oemar Gatab. Indro dikaruniai tiga anak: Handika Indrajanthy
Putrie, Satya Oktobijanty dan Harleyano Triandro Kusumonegoro.
Pendidikan terakhir Indro adalah Sarjana Ekonomi di Universitas
Pancasila, Jakarta.
Sebelum ayahnya meninggal, ada surat wasiat yang dititipkan kepada
ibunya, R. Ay. Soeselia. “Intinya surat wasiat itu, gue nggak boleh
meneruskan pekerjaan yang sama dengan bokap,” tutur Indro.
Mata Indro terlihat berkaca-kaca saat mengenang orang tuanya. Ia terdiam
sejenak. Menurutnya, ayahnya seorang polisi yang jujur. Saat meninggal
dunia, tidak ada warisan kekayaan apapun yang ditinggalkannya. “Bapak
gue malah ninggalin utang untuk lunasin rumah.”
“Kalau bokap gue nggak jujur, mungkin keluarga gue nggak kere begitu.”
“Konon sih, dari beberapa tulisan yang pernah saya baca. Bokap gue ini,
dulu gurunya Hoegeng,” ujarnya. “Bokap gue juga terkenal dengan julukan
jagonya intelijen.”
Hoegeng adalah mantan Kapolri tahun 1968-1971. Nama lengkapnya Hoegeng
Iman Santosa. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Iuran Negara
(1965-1966), Menteri Sekretaris Kabinet Inti/ Presidium Kabinet Dwikora
(1966-1967), dan Deputy Operasi Men/Pangab (1967-1968). Hoegeng adalah
Kapolri yang pertama kali mencetuskan ide memakai helm. Ia meninggal
dunia pada 14 Juli 2004.
“Pas bokap meninggal, ibu gue akhirnya buka katering makanan. Walaupun
keluarga saya tinggal di Menteng. Dari luarnya aja keren, tapi dalamnya
kere. Rumah gue itu, tempat tampungan semua keluarga dari kampung,”
tutur Indro. “Semua kebutuhan dari kampung ini, keluarga gue yang
tanggung.”
“Gue aja yang nggak mau minta-minta ama orang tua,” ujarnya.
Ibunya Indro pernah mengatakan, “Ndro, walaupun keluarga dari kampung
datang. Tapi, rumah ini tetap warisan kamu. Kamu yang punya hak. Bukan
siapa-siapa,” ujar ibunya.
“Tapi sampe sekarang, gue nggak tinggalin rumah yang di Menteng. Sampe
sekarang, biarin aja keluarga dari kampung yang kumpul di sana.”
Kini, Warkop DKI hanya tinggal Indro sendiri. Akting tak jua ditinggalkannya. Ia masih sibuk syuting
film
sinetron sebagai Indro Warkop di televisi swasta. Ia juga menjadi
pembawa acara “SMS” di televisi Indosiar bersama Taufik Savalas.
Indro tidak ingin nama besar Warkop DKI ikut mati. Ia mengarahkan
putra-putri dari Warkop DKI, sesuai pesan terakhir Dono, agar membentuk
lembaga penerus keluarga besar Warkop DKI. Gagasan itu kemudian
direalisasikan dengan mendirikan Lembaga Warkop DKI yang diketuai Hanna
Kasino. Sedangkan pengurus lainnya adalah anak-anak Dono, Kasino dan
Indro. Sekretariatnya di rumah Indro. Untuk memfasilitasi fans Warkop,
lembaga ini membuat situs internet www.warkopdki.org.
Tak terasa, 34 tahun lamanya, Warkop DKI masih juga tak surut dari
guyonannya. Kendati cuma ada Indro, grup ini masih berkibar dengan
gayanya sendiri. Kelompok lawak legendaris ini akan membuat orang
tertawa, sebagaimana mottonya yang selalu diingat oleh pengemarnya:
“tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”.
cerita suka duka warkop edisi ke 2

warkop
prambors formasi awal, Wahyu Sardono (Dono), Indrojoyo Kusumonegoro
(Indro), Kasino Hadiwibowo (Kasino), Nanu Mulyono (Nanu) dan Rudy Badil.
Lampu rumah keluarga Indro Warkop tampak terang. Di perumahan mewah
Jalan Kayu Putih Tengah, Jakarta Timur, itu tampak tiga motor berdiri
berjajar. Dua motor Harley
Davidson
dan satu motor Yamaha. Seekor burung kenari bertengger dalam sangkar
yang bergantung tak jauh dari ketiga motor itu. Satu mobil Jeep putih
buatan tahun 1981, terparkir di garasi terbuka. Ada lambang motor Harley
Davidson berukuran besar yang terpaku di tembok garasi itu.
Indro memang menggandrungi Harley Davidson.
Berbagai aksesoris motor besar buatan Amerika itu pun menjadi penghias
di ruang tamunya. Ada yang terbuat dari tembaga dan berbentuk lukisan
biasa. Miniatur sepeda tua di dalam figura kaca, berdiri di meja kiri.
Boneka berkepala singa, terpajang di meja sudut kanan.
Siang itu, Indro duduk santai di samping pajangan boneka singa.
Persis menghadap keluar rumah. Di rumahnya tak ada asbak rokok. Maklum,
sejak dirinya didiagnosis terkena gejala penyakit jantung, ia berhenti
merokok.
Malam itu, pertengahan Mei, ia mengenakan baju berbahan jeans
berlengan buntung dan celana “kargo” gunung berwarna coklat. Ujung
lengan dekat bahu bagian kanan dan kirinya, ditato lambang Harley
Davidson.
Telinga kiri berusia 49 tahun itu dihiasi tiga anting perak dan dua
anting di telinga kanannya. Penampilan garang itu rasanya pas dengan
hobinya mengendarai motor besar.
“Gue udeh nggak konvoi-konvoi lagi. Pake motor Harley, pas memang
lagi kepengen jalan aja. Maunya sih, pake motor kecil. Tapi, kasihan
motornya. Badan segede gini, kok pake motor kecil,” Indro tertawa sambil
memperlihatkan badannya.
Menggendarai motor Harley
Davidson, hobi yang mendarah-daging dari keluarganya. Di komunitas Harley
Davidson, ia menjabat sekretaris jenderal cum pendiri pertama Harley
Davidson Club Indonesia (HDCI). Karena kegandrungannya, anak bungsunya ia beri nama Harley. Motor pertamanya dibeli tahun 1975.
“Ini mobil pertama yang gue punya. Keluaran tahun 1981,” ujarnya.
“Mobil ini gue beli karena jasa Warkop. Makanya, gue piara banget ampe
sekarang. Pokoknya nggak mau gue jual.”
“Semua yang gue punya, berkat jasa Warkop. Nggak ada pendapatan lain.”
Baginya, Warkop adalah darah daging. Meski sendirian, ia tak ingin
Warkop pupus. Ia merasa masih sebuah keluarga. Keluarga yang harus
dipertahankan. “Warkop kan, tinggal gue doang. Ya, gue yang memberikan
saran dan mengawasi kehidupan mereka,”
Mereka yang dimaksud Indro adalah anak-anak keluarga Warkop, mulai
Dono hingga Kasino. “Kalo dihitung-hitung, gue udeh punya anak tujuh.
Tiga anak gue, satu anak Kasino, dan tiga anaknya Dono.”
*********
Tahun 1973 di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di
Cibubur, sedang berlangsung konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang
rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta
untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy
Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya ramai dan tidak
menjenuhkan.
Ide penentangan Tanaka berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada
Agustus 1973. Pembicaranya, Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin
Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB Simatupang. Saat itu mereka
mendiskusikan soal peran modal asing.
Temmy Lesanpura, mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors
menemui Kasino, Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi
mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya untuk mengisi acara radio
Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya Temmy. Ketiganya
setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu:
‘Obrolan Santai di Warung Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran.
Jam siaran setiap hari kamis malam pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada
persiapan apa pun. Ide guyonan selalu ditemukan ketika akan siaran. Dan
ceritanya seenaknya saja.
Nama warung kopi disematkan sebagai tempat yang paling demokratis
untuk membicarakan hal-hal hangat di negeri ini. Konsep siaran bergaya
komunikatif dan berkesan orang kampung memang menjadi cara menarik minat
orang untuk mendengarkan siaran mereka. Untuk itu, masing-masing punya
aksen suara yang berbeda. Kasino menirukan logat China dan Padang. Nanu
dengan logat Batak, dan Rudy Badil dengan aksen Jawa.
Tahun 1974, Dono direkrut untuk bergabung di acara itu. Ia dikenal
sebagai salah satu aktivis UI. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS,
sekarang FISIP) itu dikenal tak banyak bicara. Namun sekali berbicara,
banyak orang tertawa. Apalagi aksen Jawa-nya kental.
“Dari materinya, acara ini sering nyinggung juga tentang anti modal
asing. Tapi, sentilannya tidak kentara. Halus banget. Kita tahu, arahnya
ke masalah hangat juga,” tutur Indro.
15 Februari 1974. Saat itu Tanaka tiba di Jakarta. Mahasiswa
melangsungkan aksi unjuk rasa di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Tiga
pokok tuntutan mahasiswa dalam aksi itu; pertama, pemberantasan korupsi,
perubahan kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan modal asing yang
didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak konstitusional.
Aksi kedatangan Tanaka kemudian meluas di beberapa tempat lainnya di
Jakarta. Ironinya, terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Mobil
dan motor buatan Negeri Sakura itu, dibakar massa. Asap mengepul di
segala penjuru.
Peristiwa itu, akhirnya dikenal dengan ‘Malari 74’, kependekan dari
Malapetaka Lima Belas Januari 1974. Dari kejadian itu, diperkirakan, 11
orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775 orang ditahan, ribuan mobil
dan motor rusak serta terbakar. Ratusan kilogram emas hilang di sejumlah
toko perhiasan.
Saat berlangsung unjuk rasa anti Tanaka, Wahjoe Sardono alias Dono
berada di antara kerumunan massa di kampus UI, Salemba, Jakarta Pusat.
Dengan membawa kamera, ia berupaya mendekati podium. Dono meraih
mikrofon, lantas menyorongkannya kepada Rektor UI Prof. Mahar Mardjono
untuk berorasi di hadapan massa.
Dono tidak hanya ikut aksi demo. Ia juga sibuk memotret semua
peristiwa aksi. Banyak wartawan yang sudah mengenalnya sebagai pelawak
di Radio Prambors. Kepada salah satu media di Jakarta, Dono mengatakan
dengan berkelakar,” Tadinya saya punya niat untuk ikut demonstrasi yang
dibayar.”
“Saya kan terkenal. Jadi kalau demonstrasi bisa cepet ngumpulin
banyak orang. Kan, lagi krisis, wajar kalau orang nyari duit,” kelakar
Dono kepada wartawan.
Dono sebenarnya ingin ikut bicara dan memberikan lawakannya untuk menghibur massa. “Tapi. Tidak diberi mikropon, jadinya batal.”
Sehari sebelum kejadian, Indro baru pulang dari Filipina menjadi
kontingen Indonesia untuk acara Jambore Internasional. Tiba di Bandar
Udara Kemayoran, Indro kaget. Banyak tentara. “Gue pikir, kontingen
pramuka disambut. Hebat banget,” kenang Indro. Saat itu ia masih kelas 1
SMA.
Dalam kontingen, turut serta anak Pakubuwono. Indro diminta
menjaganya. Semua anggota Pramuka dibawa masuk ke dalam ruangan VIP.
Lantas langsung dilarikan ke rumah kediaman Pakubuwono di Jalan Mendut,
Menteng. Indro memilih pulang ke rumahnya. Firasat Indro, akan ada
kejadian luar biasa di Jakarta. “Seharusnya kontingen dimasukan dulu ke
karantina,” tuturnya.
“Besoknya gue baru tahu, kalau ternyata ada demo besar-besaran dan terjadi pembakaran.”
Jakarta mencekam. Di kampus UI, Salemba sudah ramai pengunjuk rasa.
Indro berjalan kaki dari rumahnya ke kampus UI Salemba. Di sana, ia
melihat situasi yang mengerikan. Pembakaran mobil dan motor banyak
dilakukan di jalan-jalan. “Saya juga sempat nolong orang tua yang
ketakutan,” tuturnya.
Sementara itu Kasino juga berada di antara massa yang berada di
Bandar Udara Halim. Saat itu, dia menjabat sebagai Wakil Senat Mahasiswa
FIS UI. Massa mahasiswa dan polisi sudah saling berhadapan. Polisi anti
huru-hara dipersenjatai tameng rotan dan alat setrum. “Ye…beraninya
pake setrum,” tutur Kasino.
Tiba-tiba, polisi menyerang pengunjuk rasa. Kasino dikejar-kejar
sampai ke komplek Angkatan Udara yang tak jauh dari Bandara. Ia
terpojok. Dengan posisi itu, Kasino mengatakan, “Jangan pukul dong pak.
Saya kan cuma ikut-ikutan.” Kasino tidak jadi dipukul.
Masa-masa itu telah berlalu. Usai peristiwa Malari 1974, Warkop
Prambors tetap mengudara dengan guyonan lucunya. Tahun 1976, barulah
Indro bergabung. Ia sudah mengenal empat anggota Warkop Prambors.
Maklum, rumahnya dekat dengan studio. Jika ada yang siaran sendiri, ia
yang menemaninya. Saat itu, Indro masih kelas 3 di SMA 4 Jakarta.
Di radio Prambors, Indro bukan orang baru. Rumahnya berdekatan dengan
radio itu. Nama Prambors diambil dari gabungan jalan di kawasan
Menteng. Kepanjangan dari Jalan Prambanan, Mendut, Borobudur dan
sekitarnya. Awalnya disematkan untuk Rukun Tetangga (RT) di sekitar
situ. Julukannya, RT Prambors.
Saat itu, Radio Prambors hanya amatiran. Kakak sepupunya, Yudi, salah
satu orang yang mendirikan sebelum radio itu akhirnya berubah fungsi
menjadi radio bisnis. “Pas siaran, gue juga yang sering nemenin
penyiarnya,” ujarnya.
Kasino yang mengajak Indro untuk mulai permanen di acaranya. Saat
itu, sedang ada pertandingan softball. Indro menjadi pemain sekaligus
tukang soraknya. “Ndro, nanti malam elu mulai permanen. Mau nggak?”
Tanya Kasino seusainya. Indro langsung menerima ajakannya. Tak hanya di
acara itu, Indro mulai diajak show Warkop.
Formasi acara obrolan di warung kopi menjadi lima orang. Kasino,
Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro. Tak ayal, acara ini kian ramai.
Masing-masing punya perannya sendiri. Kasino kadang berganti nama
menjadi Acing dan Acong dengan logat China. Nanu menjadi Poltak yang
beraksen Batak. Rudy Badil berganti nama menjadi Mr. James dan Bang
Kholil.
“Gue berperan sebagai Mastowi, Ubai dan Ashori dengan aksen Purbalingga. Sedangkan Dono sebagai Mas Slamet,” kata Indro.
“Pokoknya, semua isi obrolan bebas banget. Tentang apa aja,” kata Indro.
Nama kelompok mereka disebut dengan julukan Warkop Prambors. Pentas
kali pertama tahun bulan September 1976, saat pesta perpisahan SMP 9
Jakarta di Hotel Indonesia. Hasilnya dikatakan belum berhasil. Semua
personil gemetaran. Mereka dapat honor transport Rp20 ribu. Indro belum
bergabung.
Pentas kali pertama Indro di acara SMP 1 Cikini, Jakarta. Sebelum
pentas, Dono harus mojok dulu untuk menenangkan dirinya. Rudy Badil,
menolak mentas. “Badil dikenal demam panggung,” ujarnya. “Kalau Dono,
harus pelajarin dulu materi guyonannya. Sebelum pentas, Dono ngumpet.”
Tak lama kemudian, Warkop diundang di acara IDI (Ikatan Dokter
Indonesia). Mereka bertemu dengan Mus Mualim, seorang pemain musik
‘Indonesia Lima’. Mus berencana membuat acara untuk tahun baru 1977 di
TVRI alias Televisi Nasional Indonesia. Warkop ditawarin untuk nyanyi
bareng oleh Mus Mualim. Nama acaranya Terminal Musikal, tempat anak muda
yang mangkal di TVRI .
“Yang brengsek itu Nanu. Pas pentas di IDI itu. Ia malahan nggak
jelas keberadaannya. Nggak tahu, ia ngumpet di mana,” kisah Indro.
“Mentas cuma bertiga. Gue, Dono, ama Kasino. Dono aja masih gugup. Jadi tinggal gue ama Kasino yang peran abis-abisan.”
Dari situlah, Warkop Prambors mulai dibesarkan. Semua media di
Indonesia, banyak membicarakan kelompok lawakan ini. Guyonan Warkop
akhirnya dikasetkan. Ada sembilan kaset. Kaset pertamanya berjudul
cangkir kopi. Direkam langsung saat pementasan di Palembang. Di kaset
kelima berjudul Pingin Melek Hukum. Indro berperan sebagai mahasiswa
penyuluh hukum, sedangkan Kasino dan Dono sebagai warganya.
Ketenaran di radio dan di pementasan membuat Hasrat Juwil, eksekutif
produser PT. Bola Dunia melirik Warkop Prambors. Hasrat yang juga anak
Prambors, menghubungi Warkop untuk bermain
film. Soal skenario, Warkop diberikan kebebasan. Honor pertama untuk Warkop Rp15 juta. “Uang itu, kami bagi rata,” ujar Indro.
Film pertamanya berjudul; Mana Tahan di produksi tahun 1979. Artis perempuannya Elvy Sukaesih.
Film
terakhirnya berjudul; Pencet Sana Pencet Sini, dibuat tahun 1994. Artis
pendukungnya, Sally Marcellina dan Taffana Dewi. Selama 15 tahun itu,
Warkop telah membintangi 34 film.
Beberapa perusahaan film yang pernah melibatkan Warkop, antara lain PT. Nugraha Mas
Film, PT. Parkit Film, dan PT. Garuda Film. Sejak tahun 1985, akhirnya
diambil alih oleh PT. Soraya Intercine Film yang dimiliki oleh keluarga
Soraya. Saat itu direkturnya, Raam Soraya.
“Raam sangat membantu keluarga Warkop. Sampai sekarang pun, ia tetap
memperhatikan anak-anak kami. Ia juga, masih ingin bekerja sama dengan
Warkop,” ujar Indro.
Tahun 1983, hari yang sangat menyedihkan bagi Warkop,
Nanu bernama asli Nanu Mulyono, meninggal dunia akibat sakit ginjal.
Dikuburkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia hanya sempat memerankan
beberapa film saja. Sedangkan Rudy Badil, tidak pernah sama sekali
terlibat dalam pembuatan film. Warkop akhirnya tinggal bertiga, Dono,
Kasino Indro.
Nama Warkop Prambors akhirnya berubah menjadi Warkop DKI. Embel-embel
Prambors dilepaskan untuk menghindari pembayaran royalti kepada Radio
Prambors.
“Dulu sempat ada permainan anak-anak yang menyebutkan istilah DKI
dengan nama Dono, Kasino, Indro. Kita kaget. Kok ada permainan yang
dikarang oleh anak-anak dengan nama kami. Kenapa kita tidak pake aja
nama DKI” tutur Indro.
Sejak itulah mereka bersepakat menambah DKI di depan kata Warkop
“Akhirnya, berganti deh menjadi Warkop DKI. Terus diplesetin lagi, DKI
itu kependekan dari Daerah Khusus Ibukota.” Indro tertawa.
Film yang dibintangi Warkop DKI semakin menarik perhatian masyarakat.
Semua orang membicarakannya. Film yang mereka bintangi pun menjadi film
Indonesia termahal dan paling laris.
Era tahun 1980 hingga 1990, perfilman Indonesia berada di puncaknya. Di
antara begitu banyak film yang diproduksi pada saat itu, film yang
dibintangi Warkop DKI dan Rhoma Irama, merupakan dua film yang selalu
ditunggu oleh penonton.